Kumpulan Contoh Puisi Sitor Situmorang

Sitor Situmorang dan Contoh Puisinya - Sitor Situmorang lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatra utara. Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan tradisional, di lingkungan tradisi sastra lisan yang berbahasa batak. Sejak kecil dia mendengarkan khotbah-khotbah dalam bahasa Injil, lewat terjemahan ke dalam bahasa Batak. Dia senang mendengarkan lagu-lagu rakyat. Dia kenyang dengan ide-ide puitis dan bentuk-bentuk sastra tanpa teori dalam berbagai upacara.
Darah seninya lebih diasah saat dia mengenyam pendidikan di sekolah. Dia menyelesaikan SD dan SMP di daerah pedalaman Batak. Setelah dia pindah ke Jakarta pada tahun 1941, dia melanjutkan pendidikannya di berbagai sekolah HIS, MULO, AMS. Dia juga pernah memperdalam pengetahuan mengenai sinematografi di Los Angeles, Amerika serikat.

Puisi-puisi Sitor oleh banyak pengamat disebut sebagai tonggak yang mewakili perkembangan baru puisi Indonesia. Harry Aveling, Direktur Asian Studies School of Social Science La Trobe University, Australia, melihat bahwa sajak Sitor Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya sebagai pemeluk agama Kristen. Dia menjuluki Sitor Situmorang "penyair agung" karena dia terus berkarya selama lebih dari 60 tahun dan menghasilkan lebih dari 600 sajak. 
Tidak hanya puisi, Sitor juga terlibat dalam dunia penerjemahan. Dia menerjemahkan karya John Wyndham, E. Du Perron, R. S. Maenocol, M. Nijhof. Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).




Oke, Sob.. Admin kira sudah lumayan jelas ya tentang penjelasan perjalanan hidup Sitor Situmorang dan ragam karya sastranya. Dibawah ini adalah 10 puisi Sitor Situmorang yang bisa Sobat simak.


Seorang kaya mempunyai dua putra,
Dua remaja berlainan perangai,
Si Bapak sama-sama sayang,
Bagaimana akan memisah darah?

Putra sulung rajin lagi tekun,
Bertani, bertukang, merawat hewan,
Sepanjang hari bekerja di kebun,
Memelihara warisan nenek moyang.

Putra bungsu suka ke tempat pesta,
Pesiar di mana orang muda berkumpul,
Padi di ladang, hewan berbiak di gunung,
Menjadi haknya, tanpa kerja.

Malam pergi, pulang di pagi buta,
Kerja si Bungsu sepanjang tahun,
Tinggalkan si Sulung membanting tulang,
Kembali malam menutup kandang.

Akhirnya desa terlalu sepi,
Bagi si perlente, jagoan pasar,
Putus kata – Ia akan ke kota, pergi,
Berbekal warisan pemberian Ayah.

Kota jaya penuh warna dunia,
Membuat si Bungsu mabuk bahagia,
Makan, minum, bersenda gurau,
Dengan sahabat pandai berlagu.

Harta pun habis – Negeri dilanda lapar,
Wabah mengamuk membawa sengsara,
Teringat si Bungsu, betapa senangnya,
Andai ia pelayan saja di rumah Ayah.

Untuk hidup, si Bungsu ambil kerja,
Pelayan di rumah orang, tingkat terendah,
Kandang hewan jadi penginapan,
Untuk makan, diberi sisa makanan.

Si Bungsu lalu sadar, ia harus pulang,
(melambai kampung halaman)
Dekat Ayah di antara budak belian,
jadi pembantu si Abang

Suatu sore ia dari jauh datang,
Nampak pada Ayah di pematang,
Tempatnya tertunggu tiap sore,
Doakan si anak teringat pulang.

Si Ayah berlari menjumpai anaknya,
Dipeluknya sambil tersedu-sedu,
Si Bungsu terharu, lalu sujud:
“Ayah, aku berdosa. Aku pantas budakmu.”

Si Ayah segera memanggil kerabat,
Minta sapi-domba disiapkan korban,
Merayakan hari bahagia umat –
Anakku hilang, kembali ke pangkuan!

Dari ladang, kembali si Sulung,
Mendengar orang ramai berdendang,
Ayahku pesta, apa gerangan hal baru,
Alasan beria, di luar pengetahuanku?

Tetangga berkata: Belumkah kau tahu?
Adikmu pulang, dari perantauan,
Karenanya kita pesta, menuang madu,
Minum anggur sepuas hati.

Si Sulung berpaling, pergi menyendiri.
Di tengah ladang sedih berdiri,
Pikirkan nasib, betapa sia-sia,
Habiskan umur kerja dengan setia.

Si ayah merasa, si Ayah melihat,
Anak setia bermuram durja,
Ia datangi, membujuk penuh kasih:
Tak kau bahagia anakku sayang?
Adikmu pulang, setelah lama hilang!
Kasihku padamu. Hartaku semua
Adalah milikmu. Adikmu ini
lebih dari domba, pantas dikasihani!

Si Sulung berpaling, lalu lari ke rumah,
Menjumpai adiknya, berdiri di ambang,
Mereka berhadapan, tangan hendak membunuh,
Lunglai – membelai ubun adik tersayang.
 

Hutan jadi bayang-bayang
roh leluhur
merasuki tubuh

kutanam bambu
biar hangat kampung halaman

daunnya hijau
lebih hijau kala rimbun

Ditenun angin
roh bertengger di ubunubun

mata tombak
tertancap di dataran

kurajut benang hidup
waktu yang kulalui

jejak pemburu
di pegunungan

burung
di malam berbulan

hidup dari sepi
minum dari daun ilalang

jadi jin
jadi ijuk
jadi tanah liat
jadi batu
jadi danau
jadi angin
tali dipintal
titianku ke dunia sana
 

Sajak-hidup seharihari
tak kunjung habis,
irama arsitektur toko cina
dan atap-atap Yogya lama

mengangkat angan
melayang tinggi
hingga terantuk
puncak Merapi

menggapai langit
para resi
(obrolan supir-supir taksi
di lobby hotel
cantolan hadirku di bumi)

lakon seharihari
lakon setiap pagi

Malioboro terbangun
di luapan lagu-lagu
jalanan masa kini

berpapasan bau turis
warna dagangan dan langkah
orang desa ke kota

si mahasiswa
si penyair muda
si gelandangan

emoh mitos kuno
sibuk kencan
dengan kotanya

Yogya-ku
yang selalu tua
yang selalu muda
selamat pagi!
 

air terjun
kesan luar skala
akuarel

gejolak –
bumi
terhimpit mastodon

dataran
menggelegar
sepi

hutan
beku di cakrawala
waktu

angin –
di atasnya
pohon

di bekas rimba
gubuk
berasap

kerak bumi
bertudung
rumput kering

padang
lebuh
terpencil

di atas lahar
banjir
menangis

traktor bingar
menyeringai
raksasa

tinggal angin –
hujan –
matahari –
 
 

mmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmm
ooommmmmmmmmmmmmm
gema gununggunung sekeliling
mantra 30000 pemahat batu
doa 4000 penata
zikir 1500 pengukir
manunggal
padu di 2 juta kubik andesit
bangunan candi
seribu tahun
ooommmmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmmmm
mmmmmmmmmmmmmmmmmm
bunyi lonceng emas
maha biksu
Gautama Sidharta
dituntun rindu
melintasi kala
jenjang 5 pelataran
di 1460 jataka
mendaki makin tinggi
di tangga langit dhukka
menanggalkan wujud
mencapai kelepasan
di 3 pelataran suwung
tahap-tahap
32 x budha
24 x budha
12 x budha
menuju gaib
di maha stupa
hadir anatta
tak warna
tak rupa
 
 

Di udara biru, 5000 meter di atas laut,
Pendaki tegak. Sosoknya hitam,
Bertiraikan angin dingin kelabu,
Di kakinya salju. Putih puncak terbalut.

Salamku padamu, Putra pemberani,
Dari ketinggianmu mengawang samadi,
Manusia penakluk, pewaris abadi,
Cita-cita agung, mencapai langit.

Angkasa, manusia dan bumi bergayutan,
Dalam sinar mata manusia penemu,
Siap menyelam sendiri ke dasar hati,
Timbul membumbung menjumpai matahari.

Dalam takut pasti bersarang mati,
Dalam berani subur cipta Insani,
Puncak demi puncak kau naiki,
Demi panggilan hidup yang mengabdi.

Tapi puncak tertinggi harus didaki,
Ialah derita yang mengangkat dekat
      pada kuasa Ilahi.
 


I
Pada segala surat menanti nama
Pada segala surat dinanti nama

II
Pada segala air terpasang layar
Pada segala air terkulai layar

III
Pada segala mata menanti cahaya
Pada segala mata dinanti cahaya
 
 

Telah berlaku pula
Hukum dewata
Janganlah beri nama
Ia mati apa
Dengarlah ceritanya
Cerita orang tua-tua
Kusampaikan pada pembaca

Di seluruh negeri terkenal ia juara
Juara yang selalu menang
Dan orang mengalah saja
Mendengar segala ceritanya
Tiada yang berani
Tiada yang mau
Membantah kata-katanya
Di kedai-kedai
Ketika minum tuak garang

Selain juara ia pemburu pula
Kalau bukan rusa, babi hutanlah mangsanya
Mana juara, pula pemburu
Pandai menari
Membuat ukiran indah sekali
Serta memetik kecapi...

Ia suka mabuk
Dan bila ia mengutuk
Tak ada yang tak kena
Tapi dari segala mangsa
Istrinya yang paling menderita

Dua anak dilahirkannya
Satu laki, satu perempuan
Satu pun tak ada kesukaan bapaknya
Berkata orang: “Mana ‘kan pula
Anak lahir, bapak di penjudian.”

Tiba saat anak laki dikawinkan
Hal itu dirundingkan
Si anak: Aku terlalu muda.
Si bapak: Kawin sesukamu, asal jangan yang buta
Si ibu: Kawinlah, Nak, baik ada teman
Si gadis diam
Tak sepatah pun keluar
Hatinya terbelah antara ibu penyabar
Dan si bapak yang kejam.

Akhirnya jadi juga
Dengan gadis pilihan ibunya
Dan si bapak mendongkol sejak mula
Hanya karena bukan pilihannya

Tahun berganti tahun, juara semakin tua,
Anak gadis dewasa, tapi tak juga kawin.
Pula menantu tak memenuhi ingin
Cucu ditunggu tak datang-datang juga.

“Mana hanya satu anak laki
Menantu pilihan ladang mati
Mampus kau semua.”
Demikian kutuk juara
Di hari-hari kalah judi

Si anak laki tak peduli
Putuskan pergi merantau
Berkata pada ibu tersedu:
“Tak akan aku pulang, jangan ditunggu
Atau bapak harus mati.”

Tinggallah ibu
Bersama anak gadis
Tak ada yang meminang, takut bapak bengis
Yang kini hanya berburu
Lupakan judi
Dan ingat anak yang pergi

Lama ditunggu
Datang kabar dari jauh
Menantu mati di rantau
Dari kerongkongan ibu lepas keluh:
“Demikianlah nasib
Kelahiran yang kasip
Ditinggalkan yang hidup
Ditinggalkan yang mati.”
Lalu ia menanti
Di bayang-bayang bulan redup

Mereka hidup berdua kini
Juara lama telah pergi
Kawin lagi
Harapkan anak lelaki
Sebelum mati

Tak ada yang kembali
Juara dapat anak tiga
Tak ada laki-laki
Dan pada suatu hari
Ia merasa tua
Datu berkata:
“Adakan pesta
Doakan rahmat dewata
Undang istri pertama
Tapi anak terutama.”

Juara dengan hati berat
Kirimkan surat
Minta datang anak dan istri
Lalu ia menanti

Pesuruh pulang
Bawa berita bertentangan
Anak datang, anak tak datang
Hati juara dirundung kesangsian
Mungkin datang, mungkin tidak
Dan supaya lupa
Ia pergi berburu
Di hari anak ditunggu
Mungkin datang, mungkin tidak

Ia berburu di lereng gunung
Di luar kampung
Sepanjang hari
Ia menanti

Menjelang malam hari
Di kampung tiba anak-istri
Juara tak tahu
Asyik berburu

Di malam hari ia digotong
Dada berlumur darah
Berkata orang: “Tak dapat lagi ditolong
Ajal menuntut sudah.”
Lalu dibaringkan di tengah rumah
Dekat anak dan istri
Lama dinanti
Lalu mati

Kembali sudah, kembali juara
Juara pulang dari berburu rusa...
 
 
 
(Dialog Senja)

di tebing lembah
kupandang senja
kawah Merapi

bagian dari ziarah
sufi tanpa tarekat

bebas rindu
dalam merindu

bebas waktu
dan tempat

luruh dalam desah angin gunung

terapung
di awan
pulang bersama burung-burung
menuju hutan-hutan

masuk bayangan
dalam keleluasaan dan
kedalaman

percakapan tanpa kata-kata

terbalut angin
dan kebisuan

semesta batin
 
 

Di garis-garis pinggangnya
talut-talut rinduku menyelinap

di sembul-sembul pinggulnya
masa depan terbentang

di tubir-tubir pusarnya
masalalu diam

bertambah dalam tak terduga
di lubuk pandangnya

setua bumi
 
 

Suaranya bening
gairah rindu

membaca sajak
lewat telpon

pesan lugu
sekaligus tertutup

dalam sandi semiotika
melulurkan batas

antara Penanda
dan yang Ditandai

hanyut banjir
matabahasa tanpa kata

ingin berita
sepatah

sepatah kata saja