Kumpulan Contoh Puisi D. Zawawi Imron
- Pengertian Puisi dan contohnya itu apa sih ?
- Apa yang dimaksud dengan Puisi ?
- Apa arti kata Puisi ?
- Apa itu Puisi dan artinya ?
- Apa contoh Puisi ?
Pengertian Puisi dan Contohnya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, puisi atau disebut juga dengan sajak adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.
Puisi memiliki dua unsur penting yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Berikut adalah ulasan singkatnya.
1. Unsur intrinsik
Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang terkandung dalam puisi dan mempengaruhi puisi sebagai karya sastra. Yang termasuk unsur intrinsik puisi adalah diksi, imaji, majas, bunyi, rima, ritme, dan tema.
- Diksi atau pilihan kata. Dalam membangun puisi, penyair hendaknya memilih kata-kata dengan cermat dengan cara mempertimbangkan makna, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam puisi keseluruhan.
- Daya bayang atau imaji. Yang dimaksud dengan daya bayang atau imaji ketika membangun puisi adalah penggunaan kata-kata yang konkret dan khas yang dapat menimbulkan imaji visual, auditif, maupun taktil.
- Gaya bahasa atau majas. Gaya bahasa atau majas atau bahasa figuratif dalam puisi adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa atau menggunakan kata-kata yang bermakna kiasan atau lambing.
- Bunyi. Bunyi dalam puisi mengacu pada digunakannya kata-kata tertentu sehingga menimbulkan efek nuansa tertentu.
- Rima. Rima adalah persamaan bunyi atau perulangan bunyi dalam puisi yang bertujuan untuk menimbulkan efek keindahan.
- Ritme. Ritme dalam puisi mengacu pada dinamika suara dalam puisi agar tidak dirasa monoton bagi penikmat puisi.
- Tema. Tema dalam puisi mengacu pada ide atau gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui puisinya.
PANTUN YANG KAMU CARI
2. Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berada di luar puisi dan mempengaruhi kehadiran puisi sebagai karya seni. Adapun yang termasuk dalam unsur ekstrinsik puisi adalah aspek historis, psikologis, filsafat, dan religious.
- Aspek historis mengacu pada unsur-unsur kesejarahan atau gagasan yang terkandung dalam puisi.
- Aspek psikologis mengacu pada aspek kejiwaan pengarang yang termuat dalam puisi.
- Aspek filsafat. Beberapa ahli menyatakan bahwa filsafat berkaitan erat dengan puisi atau karya sastra keseluruhan dan beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa filsafat dan karya sastra dalam hal ini puisi tidak saling terkait satu sama lain.
- Aspek religius puisi mengacu pada tema yang umum diangkat dalam puisi oleh pengarang.
Kumpulan Puisi Terbaik
puisi pahlawan, puisi kemerdekaan, puisi tentang pahlawan, puisi guru, puisi perjuangan,puisi cinta, puisi sedih, puisi alam, kumpulan puisi, Puisi sahabat, puisi islam, Puisi Perpisahan, puisi ibu, Puisi ayah, Puisi binatang, puisi kesepian, puisi rindu, Kata kata, Puisi Benda, Puisi doa, Puisi pahlawan, Kumpulan puisi guru, Puisi Anak, Puisi agama, Puisi bahasa inggris, Puisi kematian, puisi guru
Baca Juga:
20+ Contoh Puisi Bertema Tentang Cinta Dan Rahasia
Zawawi Imron dan Contoh Karyanya - Sastrawan
yang sering menyisipkan akar lokal budaya daerah ini lahir di
Batang-batang, Sumenep, Madura, 1945. Zawawi Imron merupakan Sastrawan
Indonesia yang mengharumkan dan mengangkat citra Madura yang
termaginalkan. Beliau patut diacungi jempol melihat pendidikan beliau
yang tidak tamat sekolah, tapi mampu menjadi sastrawan Indonesia yang
nama dan karyanya sudah di perhitungkan di tingkat Nasional dan
Internasional.
Berikut 10 contoh puisi Zawawi Imron yang bisa Sobat simak.
Berbeda
pula dengan Chairil Anwar yang memuja Barat, pemujaan Zawawi terhadap
Madura dibarengi penerimaan wajar terhadap kemodernan Indonesia sehingga
ia tidak dirundung gelisah dalam bentuk ucap puisinya. Zawawi tidak
pernah terlepas dari akar lokal budaya (Madura) dan juga tidak
menjauhkan diri dari kemodernan Indonesia sebagai kenyataan yang wajar.
Justru di antara keduanya berjalan beriringan, saling mengisi, memahami,
dan memberi.
Beberapa karya besarnya antara lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Berlayar di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Berikut 10 contoh puisi Zawawi Imron yang bisa Sobat simak.
CELURIT EMAS
roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu
mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari
jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam tapi ke-
tika tercium bau tangan
yang
pura-pura mati dalam terang
dan
bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di se-
berang. meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya
mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari
jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam tapi ke-
tika tercium bau tangan
yang
pura-pura mati dalam terang
dan
bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di se-
berang. meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya
nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena ce-
lurit itu akan menjadi taring langit, dan mata-
hari akan mengasahnya pada halaman-halaman ki-
tab suci.
lurit itu akan menjadi taring langit, dan mata-
hari akan mengasahnya pada halaman-halaman ki-
tab suci.
celurit itu punya siapa?
amin!
amin!
(1984)
DI BUKIT WAHYU
Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu
manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga.
Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur,
waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-
yat, mengeja-eja desir darahku. Ada selubung lepas dariku,
angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon
kenanga.
manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga.
Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur,
waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-
yat, mengeja-eja desir darahku. Ada selubung lepas dariku,
angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon
kenanga.
(1979)
NENEK MOYANGKU AIRMATA
“bisikanlah
kepada angin, perihal terompah kayu yang diketemukan di gunung sejarah
itu!” kata air bah yang tak sampai menimbulkan banjir. Dahulu di gunung
itu terjadi perang antara mentimun melawan durian. Lewat luka
mayat-mayat yang bergelimpangan, tersabdalah sebuah firman, lantaran
yang menang kekuasaan.
dan kabar yang ramai tersiar, di gunung itu ada bayang-bayang menabur kembang
(1979)
IBU
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
(1966)
MADURA, AKULAH DARAHMU
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu
Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Di sini
Perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
Perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah:
-madura, akulah darahmu.
-madura, akulah darahmu.
(1966)
PEMANDANGAN
Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,
awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana
Tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?
awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana
Tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?
(1978)
PERJALANAN LAUT
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati putik milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal meniru
teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpencalang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati putik milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal meniru
teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpencalang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut
(1978)
TONGGAK
Tonggak
batas khayal dan kenyataan itu belum juga ditancapkan. Aku menunggu.
Tapi siapa yang harus kutunggu? Bintang-bintang hanya memainkan kedipan
dan kembang-kembang hanya memberi anjuran agar kubuat jubah sutra buat
patung lilinku yang tersimpan dalam kereta mayat yang tak terpakai.
Aku inginkan sunyi, maka berilah aku sunyi yang letih! Topan yang menggulung-gulung khayal dan kenyataan itu belum terantuk kebosanan. Aku inginkan roti, lalu kauberi roti sisa sakramen dalam mimpi para penganggur. Pada gelap yang utuh kulihat sekalias senyum hari esokku. Inikah bahagia itu?
Aku inginkan sunyi, maka berilah aku sunyi yang letih! Topan yang menggulung-gulung khayal dan kenyataan itu belum terantuk kebosanan. Aku inginkan roti, lalu kauberi roti sisa sakramen dalam mimpi para penganggur. Pada gelap yang utuh kulihat sekalias senyum hari esokku. Inikah bahagia itu?
(1981)
UNDANGAN
Undangan
itu telah kudengar lewat suara beburung di ujung malam. Siapakah yang
mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku? Kelam pun lelah, lalu
menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas
bukit.
Bergetar pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah kertas tua itu menghampar diri aku berlari di atasnya. Binatang-binatang yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.
Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu berhembus
kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana sejukmu sedang kaubagi
bukit.
Bergetar pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah kertas tua itu menghampar diri aku berlari di atasnya. Binatang-binatang yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.
Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu berhembus
kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana sejukmu sedang kaubagi
(1981)
ZIKIR
alif, alif, alif!
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak tak bercagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak tak bercagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
hingga aku
berkesiur
pada
angin kecil
takdir-
mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku.
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,, hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif-alif, alif!
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,, hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif-alif, alif!
alifmu yang satu
tegak di mana-mana
tegak di mana-mana
(1983)
Belum ada Komentar untuk "Kumpulan Contoh Puisi D. Zawawi Imron"