10+ Contoh Puisi Pilihan Dari Ayatrohaedi

Ayatrohaedi dan Contoh Puisinya - Sastrawan sekaligus Akademisi yang tidak jarang dipanggil Mang Ayat ini mempunyai nama Ayatrohaedi. Ayatrohaedi bermunculan di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939. Setelah menuntaskan Sekolah Rakyat di Jatiwangi (1952), Sekolah Menengah Pertama di Majalengka (1955), ia hijrah ke Jakarta melanjutkan edukasi di Sekolah Menengah Atas yang diselesaikannya tahun 1959. Setelah itu, ia masuk Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia Fakultas Sastra UI dan lulus akhir tahun 1964.

Selesai kuliah, Ayatrohaedi bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Jakarta. Belum satu tahun bekerja di sana, ia dialihkan ke Mojokerto (1965 - 1966). Karena kondisi politik yang kacau saat itu, ia menyimpulkan untuk mengundurkan dari pekerjaannya itu. Tetapi, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung menariknya menjadi pengajar di sana (1966 - 1972).

Ketika ada peluang mengikuti Pelatihan Lanjutan Linguistik dan Filologi di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte di Universitas Leiden, Ayatrohaedi ikut program tersebut selama nyaris tiga tahun (1971 - 1973). Minatnya untuk menelaah dialektologi membawanya ke Prancis. Mula-mula tinggal di Bordeaux guna meningkatkan keahlian bahasa Prancis. Kemudian pindah ke Grenoble untuk menelaah teori dan metode riset dialektologi. Pulang dari Prancis, Ayatrohaedi melatih di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan terus bertahan sampai pensiun tahun 2004. Beberapa jabatan yang pernah dipegangnya, antara lain, Ketua Jurusan Arkeologi (1983 - 1987), Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) (1989 - 1994), dan Pembantu Dekan Bidang Akademik FSUI (1999 - 2000).

Kiprahnya sebagai sastrawan dibuka samasa masih SMP (dalam bahasa Sunda) dan ruang belajar satu SMA (dalam bahasa Indonesia). Cerpen kesatunya, berjudul 'Sejak Itu' yang dimuat majalah Tjerita, No. 2, Januari 1957 merupakan mula kepengarangannya dalam sastra Indonesia. Sejak itu sejumlah cerpennya dimuat pun di majalah Tjerita, Siasat, dan Mimbar Indonesia, tiga majalah sastra yang waktu tersebut sangat berpengaruh. Di samping di majalah Mimbar Indonesia dan Siasat, masih ada selama 90-an puisinya yang dipublikasikan melewati majalah Basis, Djaja, Pustaka dan Budaya, Budaya Jaya, Trio, Berita Indonesia, dan Seloka. Semua didapatkan antara tahun 1957 hingga 1978.

Ia terus mencatat esai, cerpen, dan puisi. Dua kelompok cerpennya yang keluar pada masanya ialah Yang Tersisih (1965) dan Warisan (1965). Sejumlah puisinya yang dimuat di sekian banyak  majalah semenjak tahun 1957 kemudian dikoleksi dan diterbitkan dengan judul Pabila dan di Mana (1977). Di samping itu, Ayatrohaedi pun menulis kisah anak, yakni Panji Segala Raja (1974), Ogin si Anak Sakti (1992), dan Panggung Keraton (1993). Adapun karya terjemahannya, antara lain, Puisi Negro (1976), Senandung Ombak (terjemahan novel Yukio Mishima, 1976), Kacamata Sang Singa (cerita anak, terjemahan karya G. Vildrac, 1980). 


Baca Juga:

7 Contoh Puisi Pilihan Dari Godi Suwarna



Ayatrohaedi, laksana juga sejumlah sastrawan Indonesia yang begitu peduli pada kebudayaan dan bahasa daerahnya, laksana Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, Suripan Sadi Hutomo, Jus Rusyana, dan sejumlah sastrawan lainnya, dapat seenaknya bolak-balik mencatat dalam dua bahasa, yakni bahasa wilayah (Sunda) dan bahasa Indonesia. Maka, selain mencatat dalam bahasa Indonesia, Ayatrohaedi pun menulis dalam bahasa Sunda. Karya kreatifnya dalam bahasa Sunda, di antaranya, Hujan Munggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (Roman, 1967), Pamapag (antologi puisi, 1972), dan Di Kebon Binatang (1990).


Nyanyian Keabadian
Hujan jatuh di luar musim
menghijaukan rumput di jalan
Hujan jatuh bersama angin
melambaikan daun di dahan
Hujan jatuh membawa dingin
menyejukkan rindu di badan
Cinta yang tumbuh setiap musim
adalah cintaku pada keabadian


1958



 

Leuwimunding
Jalannya penuh berdebu
antara sawah dan kali
antara gunung dan tegal
di bawah kilat belati
anak pulang dari kota
mengaca mayat sendiri.
Dan rindu makin menggunung
antara mata dan hati
rindu kampung kelahiran
di bawah kilat belati
melurus jalan ke makam
bawa cinta sampai mati


1958



Perempuan Malam

Dia berdiri di tikungan
karena tuntutan penghidupan
adalah bagian dari kehidupan
Dia berjalan pelan-pelan
karena kehidupan
melemparkannya ke jalanDisapanya setiap lelaki
tidak dengan hati
dibuahkannya senyuman
lantaran keadaan
Pandangnya membayangkan
napas penderitaan
Suram lampu jalan
suram hidupnya yang akan datang


1963



Situ Patenggang
Bulan tanggal duapuluh-tiga
malam ini terlambat tiba

Dari balik awan mengintip ragu:
Apakah aku akan mampu
menembus tebalnya kabut
untuk menyampaikan amanat
di tengah gerimis hujan?Air yang kemilau ditimpa cahya
memisahkan kedua ujung telaga.
Bulan yang ragu,
apakah jarak yang jauh
tak mungkin jadi dekat
jika padamu kutitipkan rindu?
Dari Situ Patenggang
terpandang jalan panjang
yang mungkin terlalu jauh
untuk bisa selesai kutempuh
Tapi di Situ Patenggang
semuanya jelas terbayang:
bayang-bayang
yang membayang
bagai bayangan
yang terbayang
bergoyang


1973



Surat Akhir Tahun
Tetap kucinta
gunung-gunung gundul
karena keyakinan
tiba saatnya
'kan kembali menghijau

Unggas yang terbang itu
'kan pulang ke sarang
bertelur dan mengeram
dalam kedamaian.
Pohon di kejauhan itu
selalu melambaikan tangan
bagi yang mengerti
arti harapan.

Ikan di kali
adalah kemerdekaan.


1961




Jatiluhur
Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah gersang
menjadi subur. Bagai disihir
air pun mengalir
lewat padang-padang hijau
menghimbau.

Sangkuriang nanar memandang:
Kerja yang terbengkalai
akhirnya selesai.
Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa
menyusun batu demi batu
dinding telaga raksasa.
Membendung
napsu angkara manusia
yang berpusat pada: Aku,
Sangkuriang kesiangan.
Dayangsumbi membuahkan senyum
ke bumi: Inilah cintaku
pada turunan, anak-cucu
yang datang kemudian.
Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai
menanam benih demi benih
padang kencana.
Perwujudan ikrar
ketika menyingsing fajar.
Cintaku pada turunan
yang datang kemudian.
Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah subur
bukan lagi impian.
Tapi: kenyataan.

1969


 
Situ Gintung
Di danau ini
anak-anak alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati

Di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi

Di danau ini
gema suara alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku


1967



Rajagaluh*
Sebuah hutan memucuk
lewat kampung Rajagaluh
gelagah lebat memanjang
tertutup jalan ke kota
biji tarum bunga kembang
burung ngisap benangsari

Dekat tidak tentram hati
tapi besok lain lagi
rindu kampung cinta dara
tak bakal sesayang bunda
habislah tahun dan bulan
tak kujelang Rajagaluh


1958
*(dari lagu rakyat Sunda)


 


Dari Suatu Perpisahan
Terkadang ada baiknya kita berduka,
Agar terasa betapa gembira
Pada saatnya kita bersuka
Terkadang ada baiknya kita menangis,
Agar terasa betapa manis
Pada saatnya kita tertawa
Terkadang ada baiknya kita merana
Agar terasa betapa bahagia
Pada saatnya kita bahagia

Dan jika sekarang kita berpisah
Itupun ada baiknya juga
Agar terasa betapa mesra
Jika pada saatnya nanti
Kita ditakdirkan bertemu lagi



Baca Juga:

5 Contoh Puisi Puisi Pilihan Dari Buya Hamka







Indung

Iuh tanjung seungitna marganing wuyung
liuh indung perbawa nu cadu nundung
mun di dunya ngan aya indung jeung bapa
bakal bisa ngawasa sajagat raya
Ngan indung memeh miang dielingan,
“Lamun hirup ngan ngumbar karep sorangan
temahna poho ka indung
kaduhung nunggu di tuntung
nya hanjakal bakal jadi incu cikal.”


2001:88