Kumpulan Contoh Puisi Hamid Jabbar


  1. Pengertian Puisi dan contohnya itu apa sih ?
  2. Apa yang dimaksud dengan Puisi ?
  3. Apa arti kata Puisi ?
  4. Apa itu Puisi dan artinya ?
  5. Apa contoh Puisi ?

Pengertian Puisi dan Contohnya


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, puisi atau disebut juga dengan sajak adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.

Puisi memiliki dua unsur penting yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Berikut adalah ulasan singkatnya.

1. Unsur intrinsik
Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang terkandung dalam puisi dan mempengaruhi puisi sebagai karya sastra. Yang termasuk unsur intrinsik puisi adalah diksi, imaji, majas, bunyi, rima, ritme, dan tema.

  • Diksi atau pilihan kata. Dalam membangun puisi, penyair hendaknya memilih kata-kata dengan cermat dengan cara mempertimbangkan makna, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam puisi keseluruhan.
  • Daya bayang atau imaji. Yang dimaksud dengan daya bayang atau imaji ketika membangun puisi adalah penggunaan kata-kata yang konkret dan khas yang dapat menimbulkan imaji visual, auditif, maupun taktil.
  • Gaya bahasa atau majas. Gaya bahasa atau majas atau bahasa figuratif dalam puisi adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa atau menggunakan kata-kata yang bermakna kiasan atau lambing.
  • Bunyi. Bunyi dalam puisi mengacu pada digunakannya kata-kata tertentu sehingga menimbulkan efek nuansa tertentu.
  • Rima. Rima adalah persamaan bunyi atau perulangan bunyi dalam puisi yang bertujuan untuk menimbulkan efek keindahan.
  • Ritme. Ritme dalam puisi mengacu pada dinamika suara dalam puisi agar tidak dirasa monoton bagi penikmat puisi.
  • Tema. Tema dalam puisi mengacu pada ide atau gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui puisinya.


2. Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berada di luar puisi dan mempengaruhi kehadiran puisi sebagai karya seni. Adapun yang termasuk dalam unsur ekstrinsik puisi adalah aspek historis, psikologis, filsafat, dan religious.
  • Aspek historis mengacu pada unsur-unsur kesejarahan atau gagasan yang terkandung dalam puisi.
  • Aspek psikologis mengacu pada aspek kejiwaan pengarang yang termuat dalam puisi.
  • Aspek filsafat. Beberapa ahli menyatakan bahwa filsafat berkaitan erat dengan puisi atau karya sastra keseluruhan dan beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa filsafat dan karya sastra dalam hal ini puisi tidak saling terkait satu sama lain.
  • Aspek religius puisi mengacu pada tema yang umum diangkat dalam puisi oleh pengarang.

Kumpulan Puisi Terbaik


puisi pahlawan, puisi kemerdekaan, puisi tentang pahlawan, puisi guru, puisi perjuangan,puisi cinta, puisi sedih, puisi alam, kumpulan puisi, Puisi sahabat, puisi islam, Puisi Perpisahan, puisi ibu, Puisi ayah, Puisi binatang, puisi kesepian, puisi rindu, Kata kata, Puisi Benda, Puisi doa, Puisi pahlawan, Kumpulan puisi guru, Puisi Anak, Puisi agama, Puisi bahasa inggris, Puisi kematian, puisi guru








Hamid Jabbar merupakan penyair yang sangat produktif dan selalu optimis. Namanya saat lahir adalah Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar, tetapi dalam dunia sastra ia lebih dikenal dengan nama Hamid Jabbar. Ia lahir 27 Juli 1949, di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat dan meninggal dunia pada hari Sabtu tanggal 19 Mei 2004 ketika membaca puisi dalam suatu acara di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, pukul 23.00.
Hamid menikah tanggal 16 Februari 1975 dengan Yulianis Zain. Istrinya berasal dari Lubuk Minturun, Sarjana Muda Jurusan Bahasa Arab, IAIN Imam Bonjol. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Meuthia Aulia Jabbar dan Lilla Aulia Jabbar. Alamat Hamid Jabbar adalah Kawasan 

Hamid Jabbar dikenal sebagai penyair, padahal sebenarnya ia juga menulis cerita pendek. ia sering membaca puisi di beberapa acara, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kesenian, misalnya, ia membaca puisi pada acara Pesta Seni ala Islam, Purna Budaya (5 Desember 1991), Puisi ASEAN 1978, Pekan Kesenian antardewan kesenian, di Taman Ismail Marzuki, dan di Erasmus Huis.
Berkaitan dengan kegiatan baca puisi itu, Hamid Jabbar mendapat predikat sebagai "Penyair Zikir". Hal itu bertalian dengan puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang kebesaran Tuhan. Pernah pula Hamid Jabbar mendapat predikat 'Penyair Dangdut' karena pembacaan sajaknya diiringi dengan bunyi gendang. Dia mengaku bahwa ia menyukai alat-alat musik pada saat masih berada di kampungnya. Hamid Jabbar, menjadi bintang sinetron pada sinetron "Bukan Superman". 

Hamid Jabbar mengawali pendidikannya di sekolah rakyat (SR). Saat duduk di sekolah rakyat itu, ia sudah mulai memperhatikan lingkungan alam, Ngarai Sihanok. Ngarai itu selalu dilewatinya ketika ia akan pergi ke atau pulang dari sekolah. Pada saat itu ia mulai mengagumi keindahan alam, tetapi belum tahu cara mengungkapkannya. Akhirnya, kekagumannya pada alam itulah yang mengantarkannya menjadi sastrawan. Ketika berusia belasan tahun, Hamid Jabbar merantau ke Pulau Jawa. Dia menamatkan SMA jurusan Paspal di Bandung.
Masa-masa remaja Hamid Jabbar memang banyak dijalaninya di Sukabumi, Bandung, dan Jakarta. Saat itu pula Hamid Jabbar menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Sukabumi dan Bandung (tahun 1966—1969). Menurut Hamid, politik itu kotor. Setelah menyadari hal itu, Hamid beralih "kegiatan" dari jalur politik ke jalur sastra. 

Hamid Jabbar pernah bekerja di gudang beras, perkebunan teh, menjadi wartawan Mingguan Indonesia Ekspres (di Bandung), redaktur surat kabar harian Singgalang (Padang), karyawan PT Panca Niaga (Padang), dan karyawan Balai Pustaka. Ketika bekerja di Balai Pustaka, Hamid Jabbar pernah bertugas beberapa minggu ke Singapura. Dia juga pernah mempromosikan buku-buku Indonesia dalam Pameran Buku Internasional di Jerman Barat, tanpa menguasai bahasa Jerman.
Karya-karya Hamid Jabbar mulai terbit tahun 1970-an dan sampai akhir hayatnya ia tetap aktif menulis. Tahun 1999 Hamid Jabbar mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa melalui kumpulan puisinya yang berjudul Super Hilang Segerobak Sajak (1998).
Sebenarnya bakat seni yang dimiliki Hamid Jabbar turun dari keluarganya. Keluarga mereka pencinta pantun. Ibunya selalu mendendangkan pantun ketika meninabobokkannya. Selain itu, Hamid Jabbar dibesarkan dalam keluarga Islam. 

Dia mulai menulis tahun 1966 melalui bimbingan guru tidak resminya, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Abrar Yusra, Chairul Harun, atau Bagindo Fahmy. Tahun 1972, setelah merasa mantap, Hamid mengirimkan puisi-puisinya ke harian Pikiran Rakyat, Bandung. Hamid mengakui bahwa dari 15 puisinya yang dikirim ke Pikiran Rakyat, hanya 4 puisi yang dimuat. Pandangannya tentang seni memihak pada kesenian yang tidak dimanipulasi politik. Dia antipati terhadap politik sebagai panglima dan memihak pada pendapat bahwa pemilu merupakan proses, bukan tujuan. Dia mengatakan bahwa pemilu yang dilaksanakan tahun 1982 itu pada hakikatnya nyaris sebagai "proses pendangkalan".
Hal itu tercermin dari surat pengantarnya kepada H.B. Jassin dalam, pengiriman dua cerita pendeknya, yaitu "Dua Orang Seniman Bertapa" dan "Sampah" untuk meminta agar cerpennya itu dapat dimuat di majalah Horison

Menurut Amrizal, Hamid sebagai penulis cerpen sangat ekstrim karena lari dari sistem konvensional. Gaya bahasa Hamid Jabbar bersifat simbolik. Beberapa karya Hamid Jabbar yang berupa kumpulan puisi, antara lain adalah (1) Dua Warna ( 1974), (2) Paco-Paco (1974), (3) Wajah Kita (1981), dan (4) Rencong Gajah (1984). Yang berupa puisi lepas antara lain (1) "Doa Mabuk Para Tiran" yang dimuat dalam Mingguan Pelita, 13 Januari 1991, (2) "Gairah Kdiamat I" dan "Gairah Kdiamat II" dalam Sinar Harapan, 30 Juli 1983, (3) "Setitik Nur" dalam Berita Buana, 25 November 1980, (4) "Tetapi" dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (5) "Debu" dalam Pelita, 26 Oktober 1979, (6) "Nyanyian Belum", "Nyanyian Dalam", "Nyanyian Jauh", dan "Nyanyian Purba" dalam Berita Buana , 10 Agustus 1982, (7) "Beri Aku Satu yang Tetap dalam Diriku" dan "Ternyata" dalam Panji Masyarakat, 11 Juni 1979, (8) "Potong Bebek Angsa" dalam Pelita 12 Juni 1979, (9) "Di Taman Bunga, Luka Tercinta", "Gedung Merdeka, Sukabumi", dan "Telah dan Kecuali" dalam Sinar Harapan, 6 November 1982, (10) serta "Komputer Teler" dalam Pelita 18 Maret 1987. 

Hamid Jabbar juga menerjemahkan puisi karya Li Po ke dalam bahasa Indonesia (terjemahan versi Inggris oleh Sun Yu). Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen. Cerpen-cerpennya antara lain (1) "Tak Harmoni" dalam Ulumul Qur'an, 1989, (2) "Tas" dalam Zaman, 6 April 1985, (3) "Pemberontak" dalam Amanah, 23 Agustus 1990, (4) "Membangun Kdiamat" dalam Amanah, 7--20 November 1986, (5) "Cerpen Kita, Merdeka dan Teler" dalam Pelita, 6 Agustus 1986, (6) "Sampah" dalam Singgalang, 15 Januari 1984, (7) "Tak Ada Tempat" dalam Kartini, 4--17 Januari 1982, (8) "Pamplet" dalam Dialog, 12--25 Juni 1921, (9) "Engku Datuk Yth. di Jakarta" dalam Kompas, 2 November 1980. (10) "Komkapanin" dalam Indonesia Raya, 10 November 1969.
 
 
SEJUTA PANORAMA SUARA

Tuhanku 
bukalah segala telingaku
hingga aku mengerti
segala bicara mereka ini
dalam menyelami semesta-Mu

di sini Tuhanku
              aku jadi menggigil
       aku makin mengecil
                                dalam kuasa-Mu

     Tuhanku
              aku semakin menggigil
     dalam sejuta panorama Suara Ini
 
 
 
 
LAPANGAN RUMPUT, SISA EMBUN DAN MASA KANAK-KANAK
Lapangan rumput, sisa embun dan masa kanak-
kanak menggelinding bagai bola, serangga tak
bernama, impian-impian dan entah apa-apa.
Menggelinding bagai bola, sebuah lomba tentang
bahagia, gol dan sukses, tetapi yang terjaring adalah
nasib dan bukan tidak apa-apa. Peluit tidak
berbunyi, aturan-aturan dibuat dan dimakan,
mengenyangkan isi kepala yang menggelinding dari
sudut ke sudut. Tendang dan kejar. Tendang dan
menggelepar. Batu dan kaca. Kaca dan mata. Pecah
dan luka. Menggelinding bagai bola, sebuah lomba
tentang bahagia, tetapi dunia jadi embun masa
kanak-kanak, rumputan dan serangga dan sejuta
suara warna-warna dan impian-impian
menggelembung jadi sesuatu yang bernama luka,
tetapi bahagia, bukan, bukan-bukan, ternyata kuda-
kuda memakan rumput dan meninggalkan embun
dalam ringkiknya.
“Hidup bung, merdeka atau mati…”
1978
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983


DI TAMAN BUNGA, LUKA TERCINTA
Di taman bunga, cinta dan luka
mekar juga bersama. Para pelayat
melebur-cucurkan rindunya bersama
gaung serangga. Seperti berlagu
Kanak-kanak dari surga menyapa
embun dan kabut. Seperti malaikat
hinggap pada mainan kanak-kanak
di taman bunga, luka tercinta
Dan kau terbaring di sana, kekasih
di kelopak mimpi, kemanusiaan, masih…
1981
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983


BANYAK ORANG MENANGIS KEKASIH
banyak orang menangis, kekasih, banyak orang
menangis sepanjang gang sepanjang hari-hari
menangis seperti ayam, di matamu, banyak orang
mengalir sepanjang lambai sepanjang sangsai
meleleh di pipimu, kekasih, di pipimu sayang
banyak orang dalam tangis rasa-tak-sampai
membadai
badai orang begitu perih menagis sepanjang gang
badai ayam begitu letih berkotek berkandang-
kandang
badai pipimu begitu pedih meraih sesayat terang
kekasih, sementara hanyalah ini: gerimis sunyi dan sekalah matamu dan eramlah telur
Columbusmu
benua sayang
surga yang hilang!
1981
Horison, no. 4, th XVIII, April 1983


Keterangan postingan PuJa: tiga puisi di atas di ambil dari buku bertitel TONGGAK, Antologi Puisi Indonesia Modern 4, editor Linus Suryadi AG.
Hamid Jabbar, Lahir tanggal 27 Juli 1949 di Kota Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Meninggal dunia di atas panggung, kala membaca puisi di Universitas Islam Negeri Jakarta, pada pukul 23.00, tanggal 29 Mei 2004 dalam usia 55 tahun.