5 Contoh Puisi Puisi Pilihan Dari Buya Hamka

Buya Hamka dan Contoh Puisinya - Untuk diketahui Sobat semua, HAMKA diberikan sebutan Buya, karena merupakan panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata Abi, Abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Nama aslinya sendiri adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. 

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.

Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

Dalam pandangannya tentang kesusastraan, Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
 
 
Ulama, sastrawan, wartawan, editor, adalah profesi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).  Sebagai ulama, beberapa karya telah ditulisnya. Yang paling terkenal adalah Tafsir Al-Azhar (30 Juz), Khatib Ul Ummah (1925), Tarikh Abu Bakar Ash-Shidiq, dan Ringkasan Tarikh Umat Islam.
Sebagai sastrawan, roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah karyanya yang paling terkenal selain Di Bawah Lindungan Ka’bah, Laila Majnun, Dalam Lembah Kehidupan, dan lain-lain.
Hamka juga penulis puisi. Karyanya  lebih banyak bernuansa relijius. Dalam puisi berjudul  Nikmat Hidup, misalnya, Hamka mengingatkan tentang makna puasa, kesabaran, dan keimanan. Berikut sebagian puisi tersebut.
 




Hati Sanubari

Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
Kemudian tuan bebas memberi saya nama
dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf,
dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu
tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
 
 Roda Pedati

Nasib makhluk adalah laksana roda pedati
Ia turun dan ia naik, silih berganti

Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati
Kita menunggu kadar,
kita berharap dan menanti..
 
 
 
Nikmat Hidup

Setelah diri bertambah besar
di tempat kecil tak muat lagi,
Setelah harga bertambah tinggi
orang pun segan datang menawar,
Rumit beredar di tempat kecil
kerap bertemu kawan yang culas,
Laksana ombak di dalam gelas
diri merasai bagai terpencil,

Walaupun musnah harta dan benda
harga diri janganlah jatuh,
Binaan pertama walaupun runtuh
kerja yang baru mulailah pula,

Pahlawan budi tak pernah nganggur
khidmat hidup sambung bersambung,
Kadang turun kadang membumbung
sampai istirahat di liang kubur,

Tahan haus tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tenang,
Memohon-mohon jadikan pantang
dari mengemis biar terkapar,
Hanya dua tempat bertanya
pertama tuhan kedua hati,
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama,

Hanya sekali singgah ke alam
sesudah mati tak balik lagi,
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam,

Wahai diriku teruslah maju
di tengah jalan janganlah berhenti,
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju,

Selama nampak tubuh jasmani
gelanggang malaikat bersama setan,
Ada pujian ada celaan
lulus ujian siapa berani,

Jika hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi,
Jika berani tak ada lagi
separuh kekayaan porak poranda,

Musnah segala apa yang ada
jikalau jatuh martabat diri,
Wajah pun muram hilanglah seri
ratapan batin dosa namanya,

Jikalau dasar budimu culas
tidaklah berubah kerana pangkat,
Bertambah tinggi jenjang di tingkat
perangai asal bertambah jelas,

Tatkala engkau menjadi palu
beranilah memukul habis-habisan,
Tiba giliran jadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu,

Ada nasihat saya terima
menyatakan fikiran baik berhenti,
sebablah banyak orang membenci
supaya engkau aman sentosa,

Menahan fikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa,
Merdeka berfikir gagah perkasa
berani menyebut yang aku yakin,

Celalah saya makilah saya
akan ku sambut bertahan hati,
Ada yang suka ada yang benci
hiasan hidup di alam maya
 
 Biar Mati Badanku Kini

Biar mati badanku kini
Payah benar menempuh hidup
Hanya khayal sepanjang hidup
Biar muram pusaraku sunyi
Cucuk kerah pudingnya redup
Lebih nyaman tidur di kubur
 
 
 Hanya Hati

Gajiku kecil
Pencaharian lain tak ada
Kicuh buku aku tak tahu
Korupsi aku tak mahir
Berniaga aku tak pandai

Kau minta permadani
Padaku hanya tikar pandan
tempat berbaring tidur seorang
Kau minta tas atom
Padaku hanya kampir Matur
Kau minta rumah indah
Perabot cukup
Lihatlah! Gubukku tiris
Kau minta kereta bagus
Aku hanya orang kecil
Apa dayaku
Kekayaanku hanya satu, dik

Hati
Hati yang luas tak bertepi
Cinta yang dalam tak terajuk


Bukittinggi, 1948

Puisi yang ditulis pada tahun 1948 ini adalah salah satu kontribusi besar dalam sastra tanah air, dan secara khusus merupakan kenang-kenangan indah bagi keluarganya.  Karya-karyanya tak hanya menyiratkan kehebatan seorang sastrawan dan kealiman seorang ulama, lebih dari itu, Hamka menunjukkan dirinya sebagai  insan penuh cinta.
Pintu rumahnya selalu terbuka untuk kedatangan siapa pun yang meminta nasihat, baik konsultasi agama hingga persoalan rumah tangga. Betapa tepat sebutan ‘Buya’ (Ayah, dalam bahasa Minangkabau) bagi sosok beliau.  Dan kendati telah berpulang ke rahmatullah 36 tahun yang lalu, sang putra, Rusydi Hamka masih mengingat detail sosok Buya sebagai ayah penuh cinta, bukan hanya ulama berkharisma. Rusydi Hamka menuangkan kisah dan kenangannya dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka. [rst]