20+ Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail Terbaik di Masanya
Puisi adalah suatu bentuk dalam karya sastra yang berasal dari hasil
suatu perasaan yang di ungkapankan oleh penyair dengan bahasa yang
menggunakan irama, rima, matra, bait dan penyusunan lirik yang berisi
makna.Di dalam puisi juga berisi suatu ungkapan perasaan dan pikiran dari
penyair yang menggunakan imajinasinya. Kemudian ia berkonsentrasi untuk
menyusun puisi dengan kekuatan bahasa, bai secara fisik maupun batin.
Sebuah puisi biasanya mengutamakan akan bunyi, bentuk serta makna
yang terkandung untuk disampaikan. Keindahan pada puisi menjadi kualitas
estetika yang begitu indah.
Hal-hal membaca puisi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca puisi sebagai berikut:- Ketepatan ekspresi/mimik
- Kinesik yaitu gerak anggota tubuh.
- Kejelasan artikulasi
- Timbre yaitu warna bunyi suara (bawaan) yang dimilikinya.
- Dinamik artinya keras lembut, tinggi rendahnya suara.
- Intonasi atau lagu suara.
- Tekanan dinamik yaitu tekanan pada kata-kata yang dianggap penting.
- Tekanan nada yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. Misalnya suara tinggi menggambarkan keriangan, marah, takjub, dan sebagainya. Suara rendah mengungkapkan kesedihan, pasrah, ragu, putus asa, dan sebagainya.
- Tekanan tempo yaitu cepat lambat pengucapan suku kata atau kata.
Contoh Puisinya
Puisi 1 : Kembalikan Indonesia Padaku
(Taufiq Ismail) Paris, 1971
Hari depan Indonesia
adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia
adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna
putih dan sebagian hitam,
yang menyala
bergantian,
Hari depan Indonesia
adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang
bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia
adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta
penduduknya,
Kembalikan Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia
adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur
angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia
adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat
bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia
adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut
itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan
sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia
adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong
di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus
juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan Indonesia padaku
Hari depan Indonesia
adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang
bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia
adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta
penduduknya,
Hari depan Indonesia
adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna
putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan Indonesia
padaku
Puisi 2 : Mencari Sebuah Mesjid
(Taufiq Ismail) Jeddah, 30 Januari 1988
Aku diberitahu
tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya
pepohonan di hutan
fondasinya batu
karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang
tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus
pandang, berkilauan
digosok topan kutub
utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara
mencarinya
Aku diberitahu
tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran
kaligrafi Quran
dengan warna platina
dan keemasan
berbentuk daun-daunan
sangat beraturan
serta sarang lebah
demikian geometriknya
ranting dan tunas
jalin berjalin
bergaris-garis gambar
putaran angin
Aku rindu dan
mengembara mencarinya
Aku diberitahu
tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan
ozon
dan menyeru azan tak
habis-habisnya
membuat lingkaran
mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang
lepas-lepas
disulam malaikat
menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah
ratusan juta sajadah
di setiap rumah
tempatnya singgah
Aku rindu dan
mengembara mencarinya
Aku diberitahu
tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor
engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan
sampai waktu asar
tak bisa kau capai
saf pertama
sehingga bila engkau
tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana
saja
di lantai masjid ini,
yang luas luar biasa
Aku rindu dan
mengembara mencarinya
Aku diberitahu
tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah
perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang
dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan
lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya
matahari
kau lihat bermilyar
huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf
pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka
yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah
menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan
mengembara mencarinya
Aku diberitahu
tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang
bersila bersama
dan bermusyawarah
tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa
berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada
pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul
persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah
yang itu juga
terbentang di sebuah
masjid yang mana
Tumpas aku dalam
rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia
gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku
mengikuti matahari
ketika di puncak
tergelincir dia sempat
lewat seperempat
kuadran turun ke barat
dan terdengar
merdunya azan di pegunungan
dan aku pun
melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke
kiri dan ke kanan
ketika seorang tak
kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
Inilah dia masjid
yang dalam pencarian tuan¡
dia menunjuk ke tanah
ladang itu
dan di atas lahan
pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya
aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan
dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia
berwudhu duluan
aku pun di bawah air
itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku,
kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa,
bukan dingin kiranya
demikianlah air
pancuran
bercampur dengan air
mataku
yang bercucuran.
Puisi 3 : Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya
(Taufik Ismail) 1966
Tadi siang ada yang
mati,
Dan yang mengantar
banyak sekali
Ya.
Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak:
dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga
turun harganya
Sampai kita bisa naik
bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam
panas bukan main
Terbakar muka di atas
truk terbuka
Saya lemparkan
sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat
juga
Memang sudah rezeki
mereka
Mereka
berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak
kecil
“Hidup tukang
rambutan!” Hidup tukang rambutani
Dan menyoraki saya.
Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun
dari truk, bu
Mengejar dan
menyalami saya
Hidup pak rambutan
sorak mereka
Saya dipanggul dan
diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!”
sorak mereka
Terima kasih, pak,
terima kasih!
Bapak setuju karni,
bukan?
Saya
mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
Doakan perjuangan
kami, pak,
Mereka naik truk
kembali
Masih meneriakkan
terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan!
Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu.
Saya tersedu
Belum pernah seumur
hidup
Orang berterima-kasih
begitu jujurnya
Pada orang kecil
seperti kita.
Puisi 4 : Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(Taufik Ismail) 1998
I
Ketika di Pekalongan,
SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku
dapat beasiswa
Sembilan belas lima
enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak
revolusi Indonesia
Negeriku baru enam
tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut
merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas,
Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung
asalnya
Kagum dia pada
revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang
pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo
sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku
nara-sumbernya
Dadaku busung jadi
anak Indonesia
Tom Stone akhirnya
masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D.
dari Rice University
Dia sudah pensiun
perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap
bila aku berdiri
Mengapa sering benar
aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh,
di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth
Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam,
Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi
baret di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia.
III
Di negeriku,
selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku,
sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang
curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak
lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja
kuasa ayah, paman dan kakek
secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi
pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat
tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong
birokrasi
lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar
anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak
dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal,
sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka
bersenang hati,
Di negeriku
penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat
jelas
penipuan
besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah,
surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang
opininya bersilang tak habis
dan tak utus
dilarang-larang,
Di negeriku dibakar
pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan
Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma
mereka punya jenazah,
sekarang saja
sementara mereka kalah,
kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat
akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan
pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia
dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan
sepotong SK
suatu hari akan masuk
Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman
tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu
tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak
disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan
fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola
sudah naik tingkat
jadi pertunjukan
teror penonton antarkota
cuma karena sebagian
sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia
menerima skor pertandingan
yang disetujui
bersama,
Di negeriku rupanya
sudah diputuskan
kita tak terlibat
Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia
itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India,
Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada
pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk,
Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan
Irian,
ada pula pembantahan
terang-terangan
yang merupakan dusta
terang-terangan
di bawah cahaya surya
terang-terangan,
dan matahari tidak
pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi
terang-terangan,
Di negeriku budi
pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan
sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan
jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh,
di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth
Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam,
Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi
baret di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia.
Puisi 5 : Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
(Taufik Ismail) 1966
Tidak ada pilihan
lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau
mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual
keyakinan kita
Dalam pengabdian
tanpa harga
Akan maukah kita
duduk satu meja
Dengan para pembunuh
tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat
yang berakhiran
Duli Tuanku ?¡
Tidak ada lagi
pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia
bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan
untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh
juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir,
gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya
inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya
kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras
suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan
lain
Kita harus
Berjalan terus.
Puisi 6 : Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka
(Taufik Ismail) 1965
Surat ini adalah
sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah
sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara
biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan
kepada
Penguasa-penguasa
negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden.
Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua
MPRS
Taruhlah dia anggota
DPR
Atau pemilik sebuah
perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor,
Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa
sajalah namanya
Malahan mungkin dia
saudara sendiri
Jika ingin saya
tanyakan adalah
Tentang harga sebuah
nyawa di negara kita
Begitu benarkah
murahnya? Agaknya
Setiap bayi
dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa
diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan
tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu
menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga
mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya
anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak
seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25
tahun kemudian
Bayi itu akan
ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang
dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita
semua
Di jalan raya.di
depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di
sana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh
dari ayahnya
Yang juga mungkin
sudah tiada
Bayi itu pecahlah
dadanya. Mungkin tembus keningnya
Darah telah
mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya
dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya
tanyakan adalah
Tentang harga sebuah
nyawa di negara kita
Begitu benarkah
gampangnya?
Apakah mesti
pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah
murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan
kering
Mungkin pengabdian
kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah
sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen
sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa
terlalu biasa
Untuk puisi ini.
Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya
menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena
pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah
mulai terlalu biasa
Kita tak bisa
membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita
dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu
murah harganya?
Untuk suatu
penyelesaian
Benarkah harga-diri
manusia kita
Benarkah kemanusiaan
kita
Begitu murah untuk
umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan
sejarah
Benarkah?
Puisi 7 : 06:30
(Taufik Ismail) 1965
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi
(Arloji Castell)
Tertulis begini : Dunia
Kini
Membutuhkan Waktu
Yang Tepat¡
Di belakangnya langit
pagi
Tembok sungai dan
kawat berduri
Pengawalan berjaga.
Di istana
Arloji Castell
Berkata pada setiap
yang lewat
Dunia Kini
Membutuhkan Waktu
Yang Tepat¡.
Puisi 8 : Benteng
(Taufik Ismail) 1966
Sesudah siang panas
yang meletihkan
Sehabis
tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke
karnpus ini berlindung
Bersandar dan
berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus
nasi bertebaran
Dari para dermawan
tidak dikenal
Kulit duku dan
pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping
Kontingen Bandung
Ada yang berjaket
Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal,
semuanya tak bicara
Tapi kita tldak akan
terpatahkan
Oleh seribu senjata
dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita
pikirkan
Keperluan-keperluan
kecil seharian
Studi,
kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa
yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban
waktu, siap saban jam.
Puisi 9 : Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal
(Taufik Ismail) 1966
Pengkhianatan itu
telah terjadi
Pengkhlanatan itu
terjadi pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager
politik
Ada despot yang lalim
Ada ruang sidang
dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner
telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la
di sana tak ada
kepala
tapi hu hu hu
tak ada kepala di
atas bahu
Adalah tempolong
ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Ada pernyataan
otomatik
Ada penjara dan maut
imajiner
Generasi yang kocak
Usahawan-usahawan
politik yang kocak¡
Ruang sidang dalam
istana
La la la
tempolong ludah tak
berkepala
Hu hu hu
keranjang sampah di
atas bahu
Angin menerbangkan
kertas-kertas statemen Terbang
Melayang layang.
Puisi 10 : Malam Sabtu
(Taufik Ismail) 1966
Berjagalah terus
Segala kemungkinan
bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk
anak-cucu
Menjelang akhir abad
ini
Karena kita kini
berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah
jatuh. Dibunuh
Ada pula mayat
adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak
dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya
akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan.
Dengarkanlah di luar itu
Suara doa
berjuta-juta
Rakyat yang resah dan
menanti
Mereka telah menanti
lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa
malam ini
Dengar. Dengarlah
hati-hati.
Puisi 11 : Rendez - C Vous
(Taufik Ismail) 1966
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat
ramah
Dan mengajak kami
pergi
Saya sudah
mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,¡
Katanya
Tapi amat heran
Mereka berkali-kali
menolakku
Di ambang pintu.¡
Klni kami
beratus-ribu
Mengiringkan langkah
Sejarah
Dalam langkah yang
seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
Puisi 12 : Bendera Laskar
(Taufik Ismail) 1966
Kali pertama, di
halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar
bendera laskar
Berkibar putih bagai
mega
Dengan garis-garis
yang merah
Karena telah dibayar
dengan darah
Dia telah mendengar
teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan
raya
Di atas truk tanpa
tenda
Di atas jip, di depan
pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului
kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi
nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah rnanusia
Yang telah lama
dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas,
berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang
kami yang setia
Lambailah sejarah
dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang
kukuh dan kekar.
Puisi 13 : Dengan Puisi, Aku
(Taufik Ismail) 1966
Dengan puisi aku
bernyanyi
Sampai senja umurku
nanti
Dengan puisi aku
bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku
mengenang
Keabadian Yang Akan
Datang
Dengan puisi aku
menangis
Jarum waktu bila
kejam mengiris
Dengan puisi aku
mengutuk
Nafas zaman yang
busuk
Dengan puisi aku
berdoa
Perkenankanlah
kiranya
Puisi 14 : La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini
(Taufik Ismail) 1966
Kini anak-anak itu
telah berpawai pula
Dipanggang panas
matahari ibukota
Setiap lewat depan
kampus berpagar senjata
Mereka berteriak
dengan suara tinggi
Hidup kakak-kakak
kami!¡
Mereka telah
direlakan ibu bapa
Warganegara biasa
negeri ini
Yang melepas dengan
doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang
tak kenal lelah
Kini telah
melangkahkan sejarah.
Puisi 15 : Silhuet
(Taufik Ismail) 1965
Gerimis telah
menangis
Di atas bumi yang
lelah
Angin jalanan yang
panjang
Tak ada rumah. KIta
tak berumah
Kita hanya
bayang-bayang
Gerimis telah
menangis
Di atas bumi yang
letih
Di atas jasad yang
pedih
Kita lapar. Kita amat
lapar
Bayang-bayang yang
lapar
Gerimis telah
menangis
Di atas bumi yang
sepi
Sehabis pawai
genderang
Angin jalanan yang
panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan
pilar
Di bawah bayangan
emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
Puisi 16 : Bukit Biru, Bukit Kelu
(Taufik Ismail) 1965
Adalah hujan dalam
kabut yang ungu
Turun sepanjang
gunung dan bukit biru
Ketika kota cahay dan
di mana bertemu
Awan putih yang
menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam
sengangar berdebu
Turun sepanjang
gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak
bicara dan terpaku
Gunung api dan hama
di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah
kesumba
Padang hilalang dan
bukit membatu
Tanah airku
Puisi 17 : Persetujuan
(Taufik Ismail) 1966
Momentum telah
dicapai. Kita
Dalam estafet amat
panjang
Menyebar benih ini di
bumi
Telah sama berteguh
hati
Adikku Kappi, engkau
sangat muda
Mari kita berpacu
dengan sejarah
Dan kini engkau di
muka
Puisi 18 : Bagaimana Kalau
(Taufik Ismail) 1966
Bagaimana kalau dulu
bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi
bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu
Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus
kita beri mandat,
Bagaimana kalau
ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia
Monaco,
Bagaimana kalau malam
nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung
Sahari,
Bagaimana kalau bisa
dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana
ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau
hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan
pementasan Rendra,
Bagaimana kalau
segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang
terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau
akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau
dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh
banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda,
juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau
pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan
protes itu,
Bagaimana kalau
kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak
sebagai pengganti
Bagaimana kalau
sampai waktunya
kita tidak perlu
bertanya bagaimana lagi.
Puisi 19 : Dari Catatan Seorang Demonstran
(Taufik Ismail) Yayasan Ananda, Jakarta, 1993
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa
senapan
Pada hari-hari yang
mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian
diuji
Kebenaran dicoba
dihancurkn
Pada hari-hari
berkabung
Di depan menghadang
ribuan lawan
Puisi 20 : Refleksi Seorang Pejuang Tua
(Taufik Ismail) 1966
Tentara rakyat telah
melucuti Kebatilan
Setelah mereka
menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa
mulallah melangkah
Karena perjuangan
pada hari-hari ini
Adalah perjuangan
dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan
terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh
tahun yang lalu
Mahasiswa telah
meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda
berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali
menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh
tahun yang lalu
Spiral sejarah telah
mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun
tiran
Sanggup di tengah
jalan mengangkat tangan
Danberseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau
pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan
pada hari-hari ini
Adalah perjuangan
dimulai dari sunyi
Belum pernah kesatuan
terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu.
Puisi 21 : Oda Bagi Seorang Sopir Truk
(Taufik Ismail) 1966
Sebuah truk lama
Dengan supir
bersahaja
Telah beruban dan
agak bungkuk
Di atas stimya
tertidur
Di tepi jalan yang
sepi
Di suatu senja musim
ini
Dalam tidumya ia
bermimpi
Jalanan telah rata.
Ditempuhnya
Dengan sebuah truk
baru
Dengan klakson yang
bisa berlagu
Dan di sepanjang
jalanan
Beribu anak-anak
demonstran
Tersenyum padanya,
mengelu-elukan
Hiduplah bapak supir
yang tua
Yang dulu berjuang
bersama kami
Selama demonstrasi
Di tepi sebuah jalan
di ibukota
Ketika udara panas,
di suatu senja
Seorang supir lusuh
dengan truk yang tua
Duduk sendiri
terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk.
Puisi 22 : Takut 66, Takut 98
(Taufik Ismail) 1998
Mahasiswa takut pada
dosen
Dosen takut pada
dekan
Dekan takut pada
rektor
Rektor takut pada
menteri
Menteri takut pada
presiden
Presiden takut pada
mahasiswa
takut “66, takut “98
Puisi 23 : Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis
(Taufik Ismail) 1998
Kami generasi yang
sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan
nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja
menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai
dewasa ini
Jadi sangat
tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke
mancanegara
Sudah satu keturunan
jangka waktunya
Hutang selalu dibayar
dengan hutang baru pula
Lubang itu digali
lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak,
kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan
budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya
dengan mengemis lagi
Karena rendah diri
pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap
bersahaja kita
Karena malu dianggap
bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang
mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak
terkira, harga diri kita
Digantung di etalase
kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk
kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika,
Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis
dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah
mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita
dimakan begini
Kita diajarinya pula
tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk
masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak
gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah
kepala kita bersama-sama
Menggigit dan
mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak
terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku
negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan
air dan zat asam
Beratus juta kita
menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap
terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri
ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke
mancanegara
Dari membuat peniti
dua senti
Sampai membangun
kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai
teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh
hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme
mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi,
hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami
jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan
tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam
berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi
sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri
sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang
membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian
kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu
kali, kami cambuk dengan puisi ini
Belum ada Komentar untuk "20+ Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail Terbaik di Masanya"