Kumpulan 10 Contoh Puisi J.E. Tatengkeng Terbaik

J.E. Tatengkeng dan Contoh PuisinyaJ.E. Tatengkeng atau yang bernama lengkap Jan Engelbert Tatengkeng merupakan salah seorang penyair angkatan Pujangga Baru bersama-sama dengan Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan beberapa penyair lain. J.E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara pada tanggal 19 Oktober 1907. 

J.E. Tatengkeng termasuk orang yang beruntung karena mampu mengenyam pendidikan di zaman itu. Ia memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Ia kemudian meneruskannya ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat. Setelah itu ia bersekolah di Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa Tengah. 

Dari sajak-sajak karyanya, kita bisa sedikit mengetahui jalan hidup yang ditempuh Tatengkeng dalam mencari kebenaran hakiki. Kedekatannya dengan aliran kesusastraan Tachtigers dari Belanda membawa pengaruh pemikiran budaya barat dalam hidupnya. Namun Tatengkeng tidak bisa menemukan kebenaran yang ia cari di sana. Akhirnya, alam menjadi pelarian Tatengkeng. Pada beberapa karyanya, ia menggambarkan alam dengan begitu indahnya, yang mengungkapkan kedekatan dan kekagumannya pada alam.
Selain sebagai seorang penyair, J.E. Tatengkeng juga seorang negarawan. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Nusa Tenggara Timur ke empat pada rentang tahun 1949-1950. Jabatan ini menunjukkan bahwa Tatengkeng juga sangat aktif di dunia politik. Sayangnya tidak banyak catatan-catatan yang merekam aktivitas-aktivitasnya yang lain di bidang politik-kenegaraan.




Kumpulan Puisi:

"Rindu Dendam". 1934. Solo: Chr. Derkkerij "Jawi" (Memuat 32 buah sajak)
"Hasrat Hati", "Anak Kecil", "Laut", "Beethoven", "Petang", "Alice Nahon", "O, Bintang", "Gambaran", "Sinar dan Bayang", "Katamu Tuhan", "Sinar di Balik", "Willem Kloos", "Tangis".
Puisi di Majalah Lain:
"Anak Kecil", "Penumpang kelas 1", "Gadis Bali", "Aku Berjasa", "Gua Gaja", "Cintaku", "Ke Balai", "Mengheningkan Cipta", "Sekarang Ini", "Aku dan Temanku", "Sinar dan Bayang", "Kepada Dewan Pertimbangan Kebudayaan", "Aku Dilukis", "Sang Pemimpin (Waktu) Kecil", "Bertemu Setan".
Prosa:
"Datuk yang Ketularan", "Kemeja Pancawarna", "Prawira Pers Tukang Nyanyi", "Saya Masuk Sekolah Belanda", "Sepuluh Hari Aku Tak Mandi".
Drama:
"Lena". Sulawesi. No. 1. Tahun 1. 1958
Untuk lebih mengenal langsung genre puisi yang J.E. Tatengkeng ungkapkan lewat tulisan, Sobat semua bisa menyimak 10 puisinya berikut ini:



Di Lereng Gunung
Di lerang gunung,
Aku termenung,
Duduk di sisi,
Kekasih hati.

Kamu berpandangan sejurus lama,
Dan mengerti bisikan sukma.

Dada yang debar,
Terang menggambar,
Keadaan hati,
Sesudah menanti,
Sekian lama akan waktu,
Di mana jiwa kami bersatu...

0, Hidup! Betapa indah,
Kalau kasih ta' diperintah,
hanya dengan sendiri
itu datang memberi!


Kucari JawabDi mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki alam.

Di kawan awan kian kemari,
di situ juga jawabnya kucari.

Di warna bunga yang kembang.
Kubaca jawab, penghilang bimbang,

Kepada gunung penjaga waktu.
kutanya jawab kebenaran tentu,

Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.

Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai

Ya, Allah yang Maha - dalam,
Berikan jawab teka-teki alam.

0, Tuhan yang Maha - tinggi,
Kunanti jawab petang dan pagi'

Hatiku haus 'kan kebenaran,
Berikan jawab di hatiku sekarang...


Perasaan SeniBagaikan banjir gulung gemulung,
Bagaikan topan seruh menderuh,

Demikian rasa
Datang semasa,

Mengalir, menimbun, mendesak mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh.

Serasa manis sejuknya embun
Selagu merdu dersiknya angin,

Demikian Rasa
datang sesama,

Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat dingin.

Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,

Kusedia hati
Akan berbakti,

Dalam tubuh kau berkuasa,
Dalam dada kau bertakhta!


Sukma PujanggaO lepaskan daku dari kurungan,
Terus menjelma, Ke Indah Kata!
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyebrang harungan,
Mencari Cinta, Kasih dan Sayang.

Aku tak ingin dipagari rupa!
Kusuka terbang tinggi ke atas,
Meninjau hidup aneka puspa,
Dalam alam yang tak terbatas…

Tak mau diikat erat-erat,
Kusuka merdeka mengabdi seni,
Kuturut hanya semacam syarat,
Syarat gerak sukma seni.

Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang terpancaran dalam mata.
 
 Di Pantai, Waktu Petang

Mercak-mercik ombak kecil memecah,
Gerlap-gerlip sri syamsu mengerling,
Tenang-menyenang terang cuaca,
Biru kemerahan pegunungan keliling.

Berkawan-kawan perahu nelayan,
Tinggalkan teluk masuk harungan,
Merawan-rawan lagunya nelayan,
Bayangan cinta kenang-kenangan.

Syamsu menghintai di balik gunung,
Bulan naik tersenyum simpul.

Hati pengarang renung termenung,
Memuji rasa-sajak terkumpul.

Makin alam lengang dan sunyi,
Makin merindu Sukma menyanyi.



Sunyi lengang alam terbentang,
Udara jernih tenang.

Di langit mengerlip ribuan bintang,
Bulan memancar caya senang.

Angin mengembus tertahan-tahan,
Dan berbisik rasa kesukaan.

Bulan beralih perlahan-lahan,
Menuju magrib tempat peraduan.

Hati yang masygul menjadi senang,
Sukma riang terbang melayang,
Karna lahir Kerinduan semalam:
Ribaan Hua yang kukenang,
Kudapat t’rang, kasih dan sayang,
Serta damai hati di dalam.
 

Daunan kayu permainan angin,
Sinarnya syamsu hinggap di dahan,
Wayu berembusan hawa yang dingin,
Semerbak bunga berkelimpahan.

Duduk berdua dalam percintaan,
Lupakan alam makhluk semua.

S’mbari merangkai tali kerinduan,
Hubungkan sukma kami berdua.

Adindaku! Di sini kita senang,
Kini cinta berlimpah di mata,
Kasih yang merindu susah ditahan;
Untung selamat selalu dikenang,
Persatuan jiwa bertambah nyata,
Yang kekalan, anugrah Tuhan.
 
 Melati

Tempat ini tida’ kucari,
Bukan olehku tempat dipilih,
Melainkan Tuhan sudah gemari,
Saya berkembang di tempat geli!


Hatiku sungguh riang senang,
Dalam tempat yang ia berikan,
Di sini saya pancarkan terang,
Seperti Ia sudah tentukan!



Sepantun Laut

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air kaca,
Lagi diayunkan lagu ombak.

Lautan besar bagai bermimpi,
Tidak gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi,
Di sana ombak memecah nyaring.

Gerak dalam diam,
Diam dalam gerak,
Menangis dalam gelak,
Gelak dalam bermuram,
Demikian sukma menerima alam,
Bercinta, meratap, merindu dendam.
 
 O Kata

Sudah genap…
O kata
Dua patah,
Yang dikata dengan nyata,
Oleh badan payah patah.

Itu kata
Ada berita,
Terbesar dari sewarta,
Karna oleh kata nyata
Tuhan menang segala titah!
Karna kata,
Aku serta
Oleh Allah diberi harta
Selamat alam semesta.